Pengertian Budaya
Sebelum Membahas lebih jauh tentang Wayang Kulit, terlebihdahulu saya akan menjelaskan tentang budaya itu sendiri.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu
pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak
aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya
ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa alasan
mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya
lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit
nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan
atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil
bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme
kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam"
di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.
Setelah Membaca artikel tentang "Budaya", sekarang waktunya untuk menjelaskan tentang Wayang Kulit
Wayang Kulit
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan
Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa
Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga
bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong),
sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat
melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita
wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji. Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO
pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan
dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.
Pembuatan Wayang Kulit
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses
menjadi kulit lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x
30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang
digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang
berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai
bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk
lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.
Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang
ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan
pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua
sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup
kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya
untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat
berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan
menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga
dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang
menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih
lama dibandingkan dengan yang bront.
Dalang Wayang Kulit
Dalang adalah bagian terpenting dalam pertunjukan wayang kulit (wayang
purwa). Dalam terminologi bahasa jawa, dalang (halang) berasal dari
akronim ngudhal Piwulang. Ngudhal artinya membongkar atau
menyebar luaskan dan piwulang artinya ajaran, pendidikan, ilmu,
informasi. Jadi keberadaan dalang dalam pertunjukan wayang kulit bukan
saja pada aspek tontonan (hiburan) semata, tetapi juga tuntunan.
Oleh karena itu, disamping menguasai teknik pedalangan sebagai aspek
hiburan, dalang haruslah seorang yang berpengetahuan luas dan mampu
memberikan pengaruh.Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda
antara lain almarhum Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto
Sabdo (Semarang, gaya Solo), almarhum Ki Surono (Banjarnegara, gaya
Banyumas), Ki Timbul Hadi Prayitno (Yogya), almarhum Ki Hadi Sugito
(Kulonprogo, Jogjakarta),Ki Soeparman (gaya Yogya), Ki Anom Suroto (gaya
Solo), Ki Manteb Sudarsono (gaya Solo), Ki Enthus Susmono, Ki Agus
Wiranto. Sedangkan Pesinden yang legendaris adalah almarhumah Nyi
Tjondrolukito.
Di bawah ini, saya mengambil salah satu contoh wayang kulit yang ada di Indonesia.
Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta
Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta atau Wayang Kulit Gaya Yogyakarta merupakan wayang kulit
yang secara morfologi memiliki ciri bentuk, pola tatahan, dan
sunggingan (pewarnaan) yang khas. Selain itu dalam pertunjukan Wayang
Kulit Gagrag Yogyakarta juga memiliki unsur-unsur khas yaitu, lakon wayang ( penyajian alur cerita dan maknanya), catur ( narasi dan percakapan) , karawitan ( gendhing, sulukan dan properti panggung ).
Tokoh Tokoh Pewayangan
Semar
Kyai Lurah Semar Badranaya atau biasa di sebut Semar adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sanskerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Petruk
Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa. Di ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala atau Udel.
Gareng
Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”. Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa
dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak.
Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker
atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka
mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena
semacam penyakit bubul. Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk
Bagong.
Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh punakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar. Dalam wayang banyumasan Bagong lebih dikenal dengan sebutan Bawor.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_kulit
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya